Okay, kita mulai pembahasannya yukk !
Komunikasi adalah suatu proses, berisi tentang penyampaian atau pertukaran ide, gagasan, atau informasi dari seseorang kepada orang lain, dan menggunakan simbol yang dipahami maknanya oleh komunikator dan komunikan. Kegiatan komunikasi melibatkan banyak komponen, yaitu : konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian(encoding), proses penerimaan (decoding), arus balik (umpan balik), dan arus.
Menurut perspektif mekanis, komunikasi dibedakan dalam empat kategori, yakni :
proses komunikasi primer, proses komunikasi sekunder, proses komunikasi linear,
dalam proses komunikasi sirkular.
- Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media kedua. Komunikator menggunakan media kedua ini karena komunikan yang dijadikan sasaran komunikasinya jatuh tempatnya atau banyak jumlahnya, atau kedua-duanya jauh dan banyak.
- Komunikasi linear, berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan secara satu arah. Sedangkan komunikasi linear, tidak berbeda dengan sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang lain, kemudian dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan begitu seterusnya. Komunikator dan komunikan, pada saat bersamaan berganti-ganti peran.
Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada
sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau
elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA
Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat para ilmuwan ramai-ramai
mempelajari berbagai dampak sosiologis media massa. Sosiologi Lazarsfeld dari
Universitas Princeton, melakukan penelitian mendalam tentang pengaruh media
massa kepada pemilih dalam pemilu serta interaksi sosial dan suatu sistem
sosial yang memengaruhi efek komunikasi. Akhirnya perlahan-lahan sosiologi
komunikasi massa berkembang sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Sosiologi komunikasi massa berusaha menelaah hubungan timbal balik
antara media massa dan masyarakat. Orang awam bertanya, dapatkah media massa
meningkatkan taraf kejahata dan kekerasan, meruntuhkan tatanan moral,
memorakporandakan budaya tradisional, atau mengantarkan masyarakat pada kondisi
adil dan makmur. Ilmuwan bertanya, sejauh mana proses dan dinamika sosial
dipengaruhi media massa, sejauh mana pula proses sosial memengaruhi mekanisme
kerja media massa.
Sosiologi komunikasi massa sangat tertarik untuk melakukan analisis sosiologis
mengenai fenomena sisi histori, fungsi, eksistensi, dan dampak media massa
sebagai lembaga sosial yang bersifat dinamis. Dalam konteks Indonesia misalnya,
kita bisa memperkarakan banyaknya tayangan film dan sinetron bertema seksm
kekerasan, dan dunia mistik yang diyakini tidak memberi pencerahan malah
justru menyesatkan masyarakat.
ANALISIS FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL SERTA
MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA
Menurut sosiolog Robert K. Merton dan
Paul Lazarsfeld, fungsi komunikasi massa mencakup enam hal : pengawasan
(surveillance), korelasi(correlation), transmisi budaya (cultural
transmision), penganugerahan status (status conferal), dan pengakhlakan
(ethicizing). Sebagai pendukung teori fungsi, Robert K. Merton
telah membedakan antara fungsi-fungsi
konsekuensi suatu aktivitas sosial dan tujuan atau maksud di belakang aktivitas
tersebut. Jadi, konsekuensi-konsekuensi tidak perlu sama. Istilah konsekuensi
dari Merton ditujukan untuk fungsi nyata (manifest functions) yang diinginkan, dan fungsi-fungsi tersembunyi (latent functions)
yang tidak diinginkan.
Ia juga menyatakan bahwa tidak semua
konsekuensi dari suatu aktivitas mempunyai nilai positif untuk suatu sistem
sosial ketika konsekuensi itu terjadi atau bagi kelompok-kelompok atau
individu-individu yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi-konsekuensi yang
tak diinginkan ditinjau dari kesejahteraan masyarakat atau anggotanya disebut
dysfunctions. Setiap
tindakan bisa memiliki efek-efek fungsional dan disfungsional.
Menurut Melvin DeFleur dalam karyanya
yang monumental, Theories of
Mass Communication (1966)
terdapat empat teori untuk menjelaskan pola interaksi media komunikasi massa
dengan masyarakat dan budaya. Keempat teori itu
meliputi: (1) teori perbedaan individu (the individual differences theory); (2) teori penggolongan sosial (the social
category theory); (3) teori hubungan sosial (the
socialrelationship); dan (4) teori norma-norma budaya (cultural norms theory).
Wilbur Schramm, salah seorang
pakar komunikasi terkemuka Amerika menyatakan, peranan utama yang dapat
dilakukan media massa dalam pembangunan adalah membantu memperkenalkan
perubahan sosial. Menurut Schramm, terdapat sembilan peran yang dapat
dikerjakan media massa dalam membantu perubahan sosial, yakni: (1) media massa dapat memperluas cakrawala
pemikiran; (2) media massa dapat memusatkan perhatian; (3) media
massa mampu menumbuhkan aspirasi: (4) media massa mampu menciptakan suasana
membangun; (5) media massa mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal
yang berhubungan dengan masalah-masalah politik, (6) media massa mampu
mengenalkan norma-norma sosial; (7) media massa mampu menumbuhkan selera;
(8) media massa mampu mengubah sikap yang lemah menjadi sikap yang lebih
kuat; dan (9) media massa dapat berperan sebagai pendidik.
TEORI SISTEM PERS DAN KEBUTUHAN
MASYARAKAT
Menurut Siebert, tujuan utama pers
otoritarian ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa,
dan mengabdi kepada negara. Dalam pers otoritarian, kritik terhadap mekanisme
politik dan para pejabat yang bekuasa merupakan sesuatu yang sangat terlarang.
Teori ini dibangun di atas dasar asumsi filosofis tentang hakikat manusia,
hakikat masyarakat dan negara, hubungan manusia dengan negara, serta
problema filsafat dasar, hakikat pengetahuan, dan kebenaran.
Teori libertarian muncul dari filasafat
umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi manusia, serta berbagai karya
tulisan Milton, Locke, dan Mill. Teori libertarian semula berkembang di
Inggris dan digunakan setelah tahun 1688. Tujuan pers libertarian ialah memberi
informasi, menghibur, dan transaksi bisnis, terutama untuk membantu
menemukan kebenaran serta mengawasi
pemerintah yang sedang berkuasa. Teori pers tanggung jawab sosial, tumbuh di Amerika Serikat pada abad 20.
Teori pers tanggung jawab sosial
berkembang setelah dipengaruhi artikel WE Hocking, para pelaksana media, kode
etik media, dan Komisi Pembebasan
Pers. Teori pers tanggung jawab sosial bertujuan untuk memberi informasi,
menghibur, melakukan transaksi bisnis, dan yang utama adalah untuk mengangkat
konflik sampai tingkat diskusi melalui pasar ide yang bebas dan bertanggung
jawab. Media tanggung jawab sosial diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk
oleh masyarakat serta oleh berbagai etika yang dibuat oleh kaum profesional
dibolehkan mendirikan penerbitan pers.
Teori belajar sosial dikembangkan oleh
Albert Bandura. Teori ini berasumsi, media massa merupakan agen sosalisasi yang
utama selain keluarga,
guru, sahabat karib, dan sekolah. Artinya, dengan fungsi dengan kemampuannya menyeleksi berita dan
informasi, ulasan dan tulisan, serta menyajikan dan memublikasikannya secara
cepat, luas, dan serempak kepada masyarakat yang heterogen dan anonim, media
massa dapat berperan sebagai guru yang baik dan profesional. Media tak berbeda dengan ibu dan bapak guru di ruang
kelas yang mengajarkan membaca menulis dan berhitung, transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai etika dan moralitas kepada para
anak didiknya.
Teori agenda setting mengasumsikan
adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu
persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu.
Singkatnya apa yang dianggap ng penting oleh media, akan dianggap penting pula
oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian
masyarakat.
SOSIOLOGI KOMUNIKATOR DAN
PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Salah satu pendekatan studi sosiologis
tentang komunikasi massa adalah memecahkan konsep umum tentang komunikator ke
dalam berbagai unsur pekerjaan
yang sudah terspesialisasi. Selanjutnya, aspek-aspek yang relevan secara
sosiologis dari setiap pekerjaan itu dapat diteliti. Penelitian Warren
Breed dan Lee Sigelman, sedikit-banyak bisa memberikan gambaran kepada kita bagaimana
aspek-aspek sosiologis pada komunikator komunikasi massa bisa memengaruhi dan
menentukan bentuk serta
kualitas isi pesan. Studinya
memperlihatkan bagaimana para wartawan, apakah berada di bawah perintah
langsung atau tidak, dipengaruhi oleh kebijakan surat kabarnya dan oleh norma-norma mengenai isi berita yang
kadang-kadang eksplisit, sering sekali implisit, dan disampaikan melalui rekan
reporter dan pengawas di ruang berita.
Aristoteles
menyebutkan terdapat tiga syarat penting yang harus dipenuhi oleh komunikator
dalam memengaruhi khalayak : ethos, pathos, logos. Melalui tiga
pendekatan ini, Aristoteles sebenarnya ingin mengingatkan tentang betapa
pentingnya aspek atau kajian-kajian sosiologi dalam perencanaan dan pelaksanaan
aktivitas komunikasi individual dan sosial, termasuk komunikasi massa.
Pakar komunikasi
terkemuka Wilbur Schramm, menyebutkan terdapat empat kondisi sukses dalam
komunikasi(the condition of success in communication) yang perlu
diperhatikan oleh siapa pun yang hendak berkomunikasi dengan baik, yaitu:
(1) pesan dirancang secara menarik, (2) pesan menggunakan simbol
yang sama; (3) pesan membangkitkan kebutuhan khalayak, dan (4) pesan
memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan.
SOSIOLOGI KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI
MASSA
Richard T. La
Piere dalam Theory Social Control, berpendapat bahwa lingkungan inti seperti rumah, keluarga,
gereja, dan jaringan persahabatan, lebih memengaruhi
nilai-nilai, sikap dan perilaku individu daripada media massa. Orang-orang
berpaling ke media untuk memperoleh apa yang mereka cari,
bukan dalam kerangka menyediakan diri untuk
dipengaruhi.
Khalayak berbagai media, mulai dari surat kabar sampai
dengan film, memiliki ciri-ciri spesifik, meskipun dalam sejumlah hal juga
menunjukkan kesamaan tertentu. Pemirsa televisi misalnya, biasanya
jarang menggemari buku. Sedangkan pembaca setia surat kabar biasanya bukan
merupakan penggemar film. Bahkan terhadap satu jenis media, ketertarikan
khalayak berbeda-beda, bergantung kepada profesi, minat, dan
selera mereka. Dari berbagai penelitian terungkap, terdapat empat
prinsip umum perilaku khalayak komunikasi massa.
Revers, Jensen, dan Peterson, dalam Mass Media and Modern Society mengajukan
pertanyaan menarik : atas dasar apakah orang-orang memilih media? Wilbur Schramm dari Universitas Stanford menawarkan jawaban sementara atas
pertanyaan itu. Ia mengajukan dua prinsip yang menjadi dasar pemilihan, yakni
prinsip kemudahan, dan pinsip harapan-imbalan memperoleh sesuatu.
Rivers dan kawan-kawan menyimpulkan, tiap orang menggunakan media secara berbeda. Usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, memengaruhi
alasan seseorang menggunakan media. Selain itu masih banyak faktor lain yang
tidak terlalu tampak seperti sikap individual aspirasi, harapan, ketakutan. Semua
faktor itu memengaruhi penggunaan media oleh seseorang, tetapi juga
memengaruhi apa yang
akan ditemukannya dari media.
EFEK SOSIOLOGI DALAM KOMUNIKASI MASSA
Teori uses and gratifications (penggunaan dan pemenuhan) digambarkan
sebagai sebagai a dramatic break with effects tradition of the past, atau suatu
loncatan dramatis dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada
apa yang dilakukan media pada diri orang, tetapi ia tertarik pada apa yang
dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak dianggap secara aktif
menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam asumsi ini tersirat
pengertian bahwa media komunikasi massa berguna (utility); konsumsi media
diarahkan oleh motif (itentionality); perilaku media mencerminkan kepengtingan
dan preferensi (selectivity); dan khalayak sebenarnya berkepala batu (stuborn).
Steven H. Chaffee, menyebutkan terdapat lima efek kehadiran media massa
secara fisik : efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kembali, efek pada
penyaluran atau penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang
terhadap media. Sedangkan Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton dalam Mass
Communication: Popular Taste and Social Action (1948) telah merumuskan terdapat
empat sumber keprihatinan masyarakat terhadap media massa: ubiquity, status quo, kemerosotan cita rasa
estetis, dan penghilangan sukses sosial.
Secara
sosiologis media massa memiliki tiga efek prososial : efek prososial kognitif,
efek prososial afektif, dan efek prososial behavioral. Pada tahun 1960, Joseph
Klapper melaporkan hasil penelitian komprehensif tentang efek media massa.
Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa
dapat disimpulkan pada lima prinsip umum.
Denis
McQuail, melihat efek atau dampak komunikasi massa dalam beberapa kategori dan
jenis. Ia mengatakan ada efek komunikasi massa yang diinginkan, ada pula efek
komunikasi massa yang tidak diinginkan. Selain itu, ada efek dalam rentang atau
lingkup jangka pendek, ada pula efek dalam rentang jangka panjang. Pada efek
jangka pendek, terdapat faktor yang disengaja dan faktor tidak disengaja.
Begitu pula dalam efek jangka panjang, ada yang termasuk disengaja; ada juga
yang termasuk tidak disengaja.
Teori
spiral kebisuan dari Neolle-Neumann bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa
orang-orang umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dalam
pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas
atau 'konsensus'. Sedangkan teori pengendalian sosial berpendapat bahwa umumnya
tindakan media mendukung nilai-nilai dominan dalam mayarakat atau bangsa,
melalui gabungan pilihan pribadi dan lembaga, tekanan dari luar, dan antisipasi
tentang apa yang diharapkan dan diinginkan khalayak yang besar dan heterogen.
DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA
Kontrol sosial (social control) merupakan salah satu fungsi pers yang
sangat penting, terutama di negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis.
Kekuatan utama media massa sebagai alat kontrol sosial terletak pada fungsinya
sebagai pengawasan lingkungan. Pelaksanan fungsi kontrol sosial oleh pers
sebagian besar ditujukan kepada pemerintah dan aparatnya : yakni apakah
pemerintah dan aparatnya melaksanakan kebijakan sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, fungsi ini selalu membela kepentingan masyarakat.
Media
massa adalah salah satu lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih
rendah. Setiap media massa mempunyai fungsi kontrol sosial. Hanya saja dalam
pelaksanaan intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini banyak bergantung kepada
sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa itu beroperasi. Surat
kabar yang melaksanakan fungsi ini, misalnya, selalu bertindak sebagai pembela
publik atau selalu menjadi the watch dog of the public interest.
Kontrol
sosial secara represif berarti media massa memberikan sanksi-sanksi terhadap anggota
masyarakat yang diyakini melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya
agama yang berlaku. Terdapat dua masalah pokok yang erat kaitannya dalam
masalah kontrol sosial : konformitas dan deviasi. Konformitas adalah
penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan mengikuti norma-norma yang berlaku.
Jika perilaku seseorang itu bertentangan dengan norma yang berlaku, ia akan
dicela oleh anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya deviasi adalah penyimpangan
dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Perilaku menyimpang ini
dapat terjadi apabila tidak ada keselarasan antara nilai-nilai sosial dengan
norma-norma yang berlaku.
Untuk
mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan
insentif-insentif positif. Insentif adalah
dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah atau menyimpang. Seperti juga sanksi, insentif pun bisa dibedakan menjadi
tiga jenis : insentif yang bersifat fisik, insentif yang bersifat
psikologik, dan insentif yang besifat ekonomik.
Dengan merujuk kepada teori kontrol, teori pertukaran sosial,
dan teori pilihan rasional, sedikit-banyak kita bisa
memetakan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan media, terutama media
massa televisi. Dalam analisis sosiologi komunikasi massa, konflik
paling tidak dapat dilihat dari dua perspektif: redaksional dan komersial.
Perspektif redaksional, media memiliki tanggung jawab sosial serta etika
profesional untuk mengecilkan dan bahkan memadamkan konflik, bukan malah
membakar atau membesarkan konflik. Perspektif komersial, menegaskan komitmen
sekaligus orientasi media massa dalam mencari keuntungan.
TEKNOLOGI INFORMASI, CYBERSPACE, DAN
HIPER-REALITAS MEDIA
Teknologi infomasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk
memproses dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronis. Mikrokomputer, komputer mainframe,
pembaca barcode, perangkat lunak pemroses transaksi, perangkat lunak lembar
kerja (spreadsheet), serta peralatan komunikasi dan jaringan, merupakan contoh
teknologi infomasi. Secara garis besar, teknologi informasi dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian: perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software).
Lahirnya
era komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi
informasi, yaitu bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi
satu dan menandai teknologi yang disebut dengan internet. Sekarang ini yang
terpenting dan paling luas pengaruhnya adalah internet. Internetlah yang
menghubungkan komputer pribadi yang paling sederhana hingga komputer super
canggih. Inilah struktur jaringan komputer yang saling berhubungan satu sama
lain.
Dalam
internet kita menemukan cyberspace (dunia maya) dan cyber community (masyarakat maya). Pada
awalnya masyarakat maya adalah
sebuah fantasi manusia tentang dunia lain yang lebih maju dibandingkan dengan dunia saat ini. Fantasi
tersebut adalah sebuah hiper-realitas
manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai lambang dari
pembebasan terhadap kekuasaan materi dan alam semesta. Namun ketika teknologi
manusia mampu mengungkapkan misteri pengetahuan itu, manusia mampu menciptakan
ruang kehidupan baru baginya dalam dunia hiper-realitas itu.
Masyarakat
maya menggunakan seluruh metode kehidupan masyarakat nyata sebagai model yang
dikembangkan dalam segi-segi kehidupan masyarakat maya. Hiper-realitas media
menciptakan satu kondisi sedemikian canggih sehingga di dalamnya kesemuanya
dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar
daripada kebenaran; isu lebih dipercaya dibandingkan dengan informasi; rumor
dianggap lebih benar dibandingkan dengan kebenaran. Hiper-realitas media tidak
terlepas dari perkembangan teknologi media, yang disebut teknologi simulasi
(simulation technology).
Hiper-realitas
media telah menimbulkan enam bentuk dampak sosiokultural : disinformasi,
depolitisasi, banalisasi infomasi, fatalitas informasi, skizofrenia, dan
hipermoralitas. Untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas
media ke arah yang ekstrem, perlu dilakukan enam langkah antisipasi : dehiper-realitas media,
civic education, counter media, pemantauan media (media watch), literasi media
(media literacy), dan intensifikasi komunikasi keluarga.
TUGAS SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Oleh: Natasya Kania - C1021411RB4003
Ilmu Komunikasi - FIKA
Universitas Sangga Buana YPKP Bandung
Piazza Tudo | Titanium's Tents | Titanium's Tents | TITanium's Tents | TITanium's Tents | TITanium's Tents
BalasHapusTitanium's Tents titanium solvent trap | TITanium's Tents | TITanium's Tents | titanium screws TITAMY's Tents | titanium teeth TITAMY's Tents | TITAMY's Tents | titanium density TITAMY's Tents titanium dog teeth | TITAMY's Tents | TITAMY's Tents.
j880e2guhvr787 dildo,adult sex toys,real dolls,sex toys,male sex toys,cheap sex toys,penis sleeves,dog dildo,Panty Vibrators f223u4vvoif068
BalasHapus